Tak Berkategori

Mr. Harry

Sumber

Tidak setiap saat saya bisa bertemu dan berbincang dengan si Harry. Bisa dibilang Harry ini adalah seseorang yang tidak begitu tertarik dengan kehidupan politik, terbukti dengan bagaimana ia selalu memilih untuk menjadi golongan putih dalam event-event Pemilu, baik dalam Pilkada atau Pilpres. Tetapi ketika isu penistaan agama oleh politikus bertetnis Tionghoa di blow up besar-besaran di berbagai media massa, Harry tampak begitu tertarik dan terlibat dalam hal-hal seperti penyebaran informasi yang belum tentu benar bahkan melakukan hal-hal yang terkesan radikal seperti mengecam dan melarang kerabatnya untuk mengkonsumsi produk-produk yang dianggap diproduksi oleh etnis Tionghoa.

Hingga di suatu saat kami berkesempatan menonton televisi bersama dan bertepatan pula dengan dikabarkannya isu penistaan agama tersebut. Harry Menyeletuk: “ya jelas kalau Presiden itu Pro politikus bertenis Tionghoa, dia kan Cina, keturunan PKI pula.. coba liat semua nama anaknya, istrinya juga gak berjilbab..”

Sontak saya sadar seberapa jauh dia telah terlibat ke dalam permasalahan politik kali ini. “kata siapa?” saya menjawab, “emang sudah terbukti kebenarannya? Hati-hati jangan suka ngomong sembarangan, pemfitnah nggak ada bedanya sama penista lo,”

Harry menjawab,  “loh itu sudah terbuktii..coba dong liat semua link yang saya kirim di WA..itu link-link saya dapatkan dari orang-orang terpercaya, kelompok pengajian, bahkan itu sudah ada dibuku kok terkait biografi presiden dan lain-lain, sudah terbukti presiden itu pro politikus beretnis Tionghoa, lagian kamu itu muslim bela dong ulama mu..bukan bela orang kafir”. Dan seterusnya, Percakapan kami memanas dan saya akhirnya memilih untuk diam dan meyakinkan diri saya bahwa setiap orang memang memiliki opini yang berbeda terkait apapun dan perbedaan pendapat merupakan sesuatu yang wajar.

Hampir semua channel di Televisi Indonesia memang menampilkan isu-isu terkait penistaan agama oleh politikus bertenis Tionghoa. Seolah-olah tidak pernah ada kasus serupa sebelumnya. Publik memanas, dan terbagi kedalam kubu Pro dan Kontra. Dalam hal ini menurut Liam French dikarenakan memang media mampu membentuk mana hal-hal yang perlu untuk diperhatikan oleh publik dan mana yang harusnya diabaikan. Misalnya jika kita perhatikan sebenarnya ada beberapa permasalahan yang terjadi bertepatan dengan aksi bela ulama pada bulan Desember lalu, salah satunya adalah peristiwa bencana alam yakni gempa bumi di Aceh yang berkekuatan hampir sama dengan peristiwa Tsunami Aceh 2004 silam, tetapi media massa seolah mengesampingkan peristiwa ini dan lebih menyoroti isu penistaan agama. Nah, dalam hal ini kemudian konten berita terkait penistaan agama yang diberitakan secara berkelanjutan di berbagai jenis media massa di Indonesia kemudian menyebabkan isu penistaan agama ini menjadi secara kolektif diingat oleh publik. Akan tetapi ternyata walaupun saya dan Harry sama-sama mengkonsumsi terpaan media yang sama, kami memiliki pemaknaan yang berbeda terkait kasus yang sama.

Dalam hal ini memang dapat dibenarkan bahwasannya media massa mampu membentuk memori kolektif publik, tetapi memori kolektif bukan hanya dapat dibentuk oleh media massa tetapi juga budaya, interaksi sosial dan pengalaman individu. Misalnya, bagaimana budaya dalam lingkup Harry tinggal, pergaulan serta pengalaman-pengalaman Harry dan saya yang berbeda menghasilkan memori kolektif dan memori individu yang berbeda pula.

Disisi lain diyakini di abad ke-21 ini, manusia modern memiliki kuasa dalam hal membentuk memori mereka sendiri yakni melalui media baru atau internet. Tiap individu bersifat aktif dan diarahkan oleh tujuan yakni untuk memenuhi kebutuhan mereka masing-masing. Misalnya, seperti penggunaan media sosial Whatsapp oleh Harry untuk menyebarkan isu-isu yang ia yakini benar serta upaya dirinya dalam mencari isu-isu terkait yang menjadi pembenaran terhadap sesuatu yang ia yakini benar. Namun, walaupun demikian, kekuasaan manusia modern untuk mengolah memori mereka sebenarnya bagi saya masih bersifat utopis karena media baru atau internet sebenarnya juga merupakan taman bermain bagi kelompok-kelompok elit dengan berbagai kepentingan-kepentingan tertentu ditangannya.

Referensi:

French Liam. 2011. Lest We Forget: Media, Culture and The Formaton of  Collective Memory. University of St Mark & St John. The Journal of Physical Activity and Human Development, Number 5 (2011).

Standar

4 respons untuk ‘Mr. Harry

  1. “Namun, walaupun demikian, kekuasaan manusia modern untuk mengolah memori mereka sebenarnya bagi saya masih bersifat utopis karena media baru atau internet sebenarnya juga merupakan taman bermain bagi kelompok-kelompok elit dengan berbagai kepentingan-kepentingan tertentu ditangannya.”

    Ini menukik banget rasanya ya..kuasa kelompok elit yang menggurita hingga kemana-mana, bahkan menyentuh ranah yang private di media baru. Kurasa ini berhubungan dengan bahasan beberapa minggu lalu, pada citra tentang kecantikan perempuan misalnya, memori kita dibentuk oleh tayangan tv mengenai miss miss itu ini, maka kini memori kita dibentuk melalui orang-orang terdekat kita melalui citra diri mereka di media sosial, yang melanggengkan citra tersebut. Jika ditelusuri, lagi-lagi kelompok elit yang diuntungkan. Tepat seperti paragraf terakhir dalam artikel ini..

    Suka

  2. Pertanyaan lanjutan yang kemudian muncul dalam diri saya adalah apakah kita sepenuhnya menerima memori yang dibentuk oleh media begitu saja?
    Dan apa yang kita lakukan untuk memfilter semua itu?

    Suka

  3. Pada akhirnya semuanya kembali lagi kepada siapa yang memiliki kapital terbanyak dan menggunakan kapital tersebut untuk menggaungkan kekuasaan demi kepentingan kelompok dominan yah..

    Suka

  4. Ada beberapa pertanyaan saya untuk mbak Zaza terkait materi artikel yang Anda tulis di atas, yakni antara lain: apakah mbak terbiasa dalam kehidupan sehari-harinya membahas isu politik beserta partai politik, atau bahkan tidak mempedulikannya?; bagaimana tanggapan mbak atas panggung politik beserta dinamikanya akhir-akhir ini di Indonesia?; apakah mbak juga bersikap antipati seperti yang ditunjukkan oleh ‘Mr. Harry’ dengan memilih untuk menjadi golongan putih dalam event-event Pemilu, baik itu dalam Pilkada ataupun Pilpres? Jawaban-jawaban dari pertanyaan tersebut akan mencerminkan bagaimana sikap politik yang mbak Zaza ambil sebagai Warga Negara Indonesia.
    #041, #SIK041

    Suka

Tinggalkan komentar