capitalism, globalization, media and society, media dan minoritas, postmodernism

Advertising The margins: Translation and minority cultures

17148767-Abstract-word-cloud-for-Western-canon-with-related-tags-and-terms-Stock-Photo

Gambar dipinjam dari sini

Membaca bagian empat dari buku Ponzanesi ini membuat saya mencari benang merah dari bab- bab sebelumnya karena penulis sering kali menggunakan kata atau konteks yang sudah dibahas di bab-bab sebelumnya.

Dari apa yang saya pahami, kurang lebih inti dari buku yang ditulis oleh Ponzanesi ini adalah untuk mencari tahu cara dan mengidentifikasi bagaimana bidang postcolonial berpartisi dalam industri budaya. Ponzanesi menjelaskan bahwasannya produk budaya postcolonial menjadi bagian dari perdagangan global dalam hal budaya dan bagaimana perbedaan akan budaya tersebut justru menjadikannya sebuah komoditas.

Akan tetapi pada bab empat, Ponzanesi lebih fokus kepada hubungan antara globalisasi, produk budaya postkolonial yakni yang berupa karya sastra dan peranan dari literary awards serta proses penerjemahan. Ponzanesi dalam bab empat mencoba untuk menjelaskan dan memonitori permasalahan dalam hal proses globalisasi yang berkelanjutan dalam konteks karya sastra atau literatur dan bahasa melalui masalah-masalah seperti penerjemahan dan penganugerahan hadiah atau award kepada sastra minor yang dicontohkan di wilayah Afrika, seperti Caine Prize dan Noma untuk India.

Tujuan dari Ponzanes i adalah menyadari pentingnya untuk merekonstruksi atau memulihkan seperti semula kembali hubungan yang tersembunyi antara kesenian atau karya sastra dengan politik ekonomi. Namun menurutnya kini di era globalisasi memisahkan karya seni dengan istilah komoditas sangatlah kompleks karena di era ini yang lebih di tekankan adalah nilai tukar barang ketimbang konsep akan nilai tersebut.

Di era globalisasi, walaupun perwujudan atau manifestasi lokal dapat bermacam-macam dan spesifik. Tetapi sistem ekonomi global mampu menghomogenkan operasi dan efeknya. Yang mana hal ini berlaku pada produk budaya yang merupakan produk terbaru dari kapitalisme. Seperti karya sastra postcolonial yang ditransformasi kedalam comodity of global excange atau pertukaran komoditas global, yang ternyata mampu mendatangkan pasar baru seperti yang berasal dari third world countries, para imigran dan lain sebagainya, yang  kemudian berdampak pada manifestasi lokal yang dulunya dinilai sebagai the other kini di era globalisasi ini telah bertransformasi  kedalam komoditas eksotis.

Proses mengkomoditaskan manifestasi lokal dalam literatur atau karya sastra ditandai dengan maraknya penghargaan di bidang kebudayaan. Dalam beberapa tahun terakhir ini menurut Ponzanesi pada kenyataannya sedang mengalami politik intens yang belum pernah ada sebelumnya yakni tentang hubungan antara prestasi sastra yang terkait dengan nilai ekonominya. Pembentukan “prestise” atau nilai dari karya sastra menjadi semakin disematkan berdasarkan kepada seseorang atau author yang berhasil mengumpulkan penghargaan sastra internasional sebanyak-banyaknya. Proses dari pemujaan akan teks sastra terbentuk melalui penghargaan sastra internasional bergengsi yang telah menciptakan perbedaan. Dahulunya karya sastra dilihat dari segi nilai estetika, namun kini dilihat dari seberapa sering atau banyak karya sastra tersebut mendapatkan penghargaan, seperti Nobel, Booker, Pulitzer, Commonwealth, Neustadt, Orange dan banyak orang lain, yang menyatakan bahwa nilai-nilai estetik dari karya sastra sendiri semakin dikesampingkan untuk menyebut karya sastra tersebut bagus atau baik.  Namun dengan mengumpulkan penghargaan dapat secara langsung menaikkan status dari karya sastra itu sendiri dan citra penulis.

Strategi pemberian penghargaan ini bisa dibilang sebagai perwujudan dari era postmodernisme  yang berangkat dari kontradiksi akan karya sastra yang dulunya dinilai berdasarkan pada standart “prestise” yang dibentuk oleh paradigma lama (kesusasteraan barat) dan fokus terhadap proses pengerjaannya, tetapi kini karya sastra dinilai lebih baik ketika karya tersebut memiliki konsep budaya yang terasa asli atau autentik dan mengandung unsur ethnic-chic. Oleh karena hal Ini kemudian selama dua dekade terakhir terdapat banyak penulis postkolonial yang telah diberikan hadiah sastra bergengsi, seperti Nobel Prize yang diberikan kepada V. S. Naipaul (2001), Derek Walcott (1993), Wole Soyinka (1991), Booker Prize V. S. Naipaul (1971), Salman Rushdie (1981), Ben Okri (1991), Michael Ondaatje (1992), Arundhati Roy (1997) dan sejumlah penulis postkolonial kosmopolitan lainnya yang juga telah masuk ke dalam ranah pasar global.

Lalu kemudian permasalahan lain muncul, bagaimana dengan karya sastra lokal yang ditulis kedalam bahasa daerah seperti yang terjadi di India atau Afrika misalnya, peranan apa yang dijalankan oleh bahasa minoritas di dalam pasar budaya yang disebut oleh Penulis sebagai  “eropa baru”. Penulis berpendapat dalam (2014: 101) bahwa terdapat beberapa permasalahan jika dikaitkan dengan permasalahan penghargaan karya sastra. Bahwasannya salah satu ketentuan untuk mendapatkan penghargaan atau prize adalah karya sastra tersebut harus dituliskan ke dalam bahasa inggris. Sebenarnya karya sastra yang ditulis kedalam bahasa daerah terlebih dahulu tidak ditolak tetapi tetap saja penulis harus menyertakan terjemahan dan yang akan di publikasikan kelak tentunya adalah karya sastra dalam versi bahasa inggris dan dalam hal ini penerjemah berhak akan penghargaan itu. Terbukti dalam daftar 100 buku terbaik di Afrika yang tertulis kedalam bahasa Inggris atau Perancis yang rata-rata dipublikasikan oleh penerbit Eropa dan telah tersebar ke seluruh dunia karena dikategorikan sebagai buku yang baik dan memperoleh penghargaan. Peraturan ini berlaku baik di Afrika, India atau negara lainnya. Yang mana hal ini sebenarnya menegaskan kekuasaan barat dalam bentuk dominasi bahasa yakni bahasa inggris yang bersifat menghapuskan atau melenyapkan bahasa daerah dari seluruh dunia.

Tetapi bagaimana mungkin dominasi bahasa inggris dapat melenyapkan bahasa daerah, seorang penulis kenya berpendapat bahwasannya kematian sebuah bahasa merupakan titik awal kematian keseluruhan budaya. Karena kematian dari satu bahasa merupakan pendapatan atau penambahan yang terjadi di bahasa lain. Dan sebuah bahasa akan punah jika kelompok atau individu yang b erperan sebagai speakers telah berganti menggunakan bahasa yang lain.

Referensi:

Ponzanesi Sandra. 2014. The Postcolonial Cultural Industry: Icons, Markets, Mythologies. Palgrave Macmillan.

Ponzanesi Sandra. 2014. Boutique Postcolonialism: Literary Awards, Cultural Value and the Canon.

Standar

5 respons untuk ‘Advertising The margins: Translation and minority cultures

  1. “Tetapi bagaimana mungkin dominasi bahasa inggris dapat melenyapkan bahasa daerah, seorang penulis kenya berpendapat bahwasannya kematian sebuah bahasa merupakan titik awal kematian keseluruhan budaya.”
    kalimat ini seakan menyadarkan kita bagaimana bahasa ibu kemudian menjadi sangat “langka” khususnya di perkotaan. bisa dikatakan bahwa ini awal dari “menguapnya” budaya. bagaimana kemudian bahasa asing lebih prestisius dibandingkan bahasa sendiri.

    Suka

  2. ‘Seorang penulis kenya berpendapat bahwasannya kematian sebuah bahasa merupakan titik awal kematian keseluruhan budaya, dan sebuah bahasa akan punah jika kelompok atau individu yang berperan sebagai speakers telah berganti menggunakan bahasa yang lain’. Suatu pernyataan yang menarik dalam review di atas, namun sayangnya terkesan hanya sebatas konsep, sehingga memunculkan pertanyaan. Apa solusi yang bisa Mbak Zaza tawarkan, agar karya sastra maupun konteks lain (artikel jurnal) dari negara-negara berkembang/negara-negara bekas jajahan, tetap bisa diakui baik secara nasional maupun internasional, meskipun tetap ditulis dengan menggunakan bahasa daerah/lokal?; lalu bagaimana caranya mengikis dominasi bahasa Inggris dari dunia barat, yang telah begitu mengakar, agar potensi kearifan lokal dapat muncul?
    #041, #SIK041

    Suka

  3. Selain bahasa Inggris yang melenyapkan bahasa lain,bahkan di tingkat bawahnya,bahasa lokal atau bahasa daerah pun juga terancam punah (klik : http://m.liputan6.com/regional/read/2567271/139-bahasa-daerah-terancam-punah-15-lainnya-almarhum) ,salah satunya karena penggunanya beralih bahasa menggunakan bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa Indonesia sendiri juga bersaing dengan bahasa Inggris. (Klik : http://www.academia.edu/8308379/EKSISTENSI_BAHASA_DAERAH_DAN_BAHASA_INDONESIA_SEBAGAI_ALAT_KOMUNIKASI_DALAM_PERSAINGAN_GLOBAL)

    Suka

  4. Hm.. Kematian bahasa adalah kematian seluruh budaya, tapi dengan bahasa, Za, kita bisa menguasai dunia. Menurutku, novel dalam bahasa lokal tentu mengagungkan kelokalan dan patut diapresiasi bahkan dilestarikan. Tetapi, jika kita ingin membawa, mengenalkan budaya itu ke hadapan dunia, maka diperlukan sebuah komunikasi yang dapat dipahami semua orang dulu. Aku memahami bahwa pemilihan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional mungkin saja bentuk kekuasaan barat, tapi di satu sisi kita bisa mencoba melawan dengan masuk ke kekuasaan tersebut. Bagaimana kita mau mengenalkan keindahan budaya Indonesia, jika kita tidak mampu menjelaskannya ke hadapan publik?

    Suka

  5. Di satu sisi, budaya/bahasa lokal perlu untuk dilestarikan melalui karya sastra seperti novel. Namun di sisi yang lain, budaya/bahasa tersebut juga dapat untuk diperkenalkan kepada masyarakat luas dan bahkan lintas negara. Dari komentarnya Keni, mungkin jalan tengahnya ialah membuat karya sastra seperti novel dalam berbagai versi bahasa. Misalnya ada tiga versi, bahasa daerah, bahasa nasional (Bahasa Indonesia), dan bahasa Inggris. Jadi disamping melestarikan budaya maupun bahasa lokal, sekaligus juga memperkenalkan budaya ke ruang lingkup yang lebih luas.

    Suka

Tinggalkan komentar